Tampilkan postingan dengan label tarif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tarif. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Mei 2014

Tarif dokter gigi

Ada satu jenis pertanyaan dari beberapa pembaca blogku yang tidak pernah kujawab, yaitu pertanyaan mengenai tarif. Alasannya adalah tidak ada tarif yang baku dan aku tidak mau menjadikan tarifku dipakai sebagai pembanding tarif dokter gigi lain.


Bicara soal tarif dokter gigi berarti bicara soal jual-beli jasa. Jasa seorang yang berpengalaman 15 tahun tentunya layak dihargai lebih tinggi daripada seorang yang baru bekerja 2 atau 3 tahun. Jasa berupa tindakan beresiko kecil tentu tidak semahal tindakan beresiko tinggi. Operasi pencabutan gigi bungsu yang tumbuh miring tentu tidak sama resikonya dengan pencabutan gigi susu yang sudah goyang.

Selain jual-beli jasa, tarif dokter gigi juga ditentukan oleh fasilitas yang ada di dalam ruang praktek. Teknologi kedokteran gigi terus berkembang dan tentunya teknologi ini harus dibayar oleh pasien. Jika boleh diklasifikasikan, ada fasilitas primer dan sekunder. Pemanfaatan teknologi yang bersifat primer menyempurnakan hasil kerja dokter gigi. Contoh sederhana adalah tang cabut gigi. Ada pabrik yang mampu membuat tang cabut sedemikian rupa sehingga mampu mencengkram kuat gigi namun tidak membuatnya patah. Tang cabut ini tentunya membuat proses pencabutan gigi lebih mudah dan cepat.

Sebaliknya ada juga pemanfaatan teknologi yang bersifat sekunder. Dengan atau tanpa fasilitas dengan teknologi ini, hasil kerja dokter gigi adalah sama. Contohnya adalah kamera intra oral. Kamera ini mampu merekam keadaan dalam mulut dan menampilkannya di layar monitor dalam bentuk 2 dimensi. Jelas, kamera ini tidak akan mengubah hasil kerja dokter gigi.

Selain pengalaman dan fasilitas, tarif dokter gigi juga ditentukan oleh lokasi tempat praktik. Tarif dokter gigi di kawasan Pondok Indah tidak bisa disamakan dengan tarif dokter gigi di daerah Mauk, pinggiran kota Tangerang, misalnya. Ada perbedaan harga sewa ruangan, ongkos keamanan dan kebersihan, pajak bangunan, dan ongkos-ongkos lainnya yang harus diperhitungkan.

Ada hal lain lagi yang sebetulnya di luar akal sehat, yaitu pencitraan oleh pasien. Ada pasien yang menganggap bahwa kualitas dokter gigi ditentukan oleh tarif. Semakin tinggi tarif yang dipasang berarti semakin berkualitas. Ini adalah pengalaman pribadi. Ada pasien yang tidak mau giginya dicabut oleh dokter gigi yang memasang tarif 40% lebih murah daripada dokter gigi yang tempat prakteknya berdekatan. Aku tidak tahu apakah ada dokter gigi yang memasang tarif tinggi agar dianggap berkualitas.

Jadi tarif dokter gigi tergantung jasa yang dijual dan fasilitas serta lokasi. Karena peralatan dokter gigi mahal, sekolahnya juga mahal, maka masuk di akal kalau tarifnya mahal juga. Apalagi dokter gigi yang sudah berpengalaman. Eiiiitss…. sebentar, belum selesai. Sedikit lagi.

Kalau demikian kenyataannya, tentu dokter gigi menjadi menara gading yang tak akan pernah terjangkau oleh kaum miskin. Tidak! Dokter gigi bekerja bukan hanya sekedar sebagai mesin uang, tapi dengan etika. Pada saat dilantik menjadi dokter gigi, dia melafalkan sumpah untuk menjalankan profesinya dengan etika. Dokter gigi yang beretika tidak akan pernah menolak pasien yang datang hanya membawa penyakitnya.Tetap ada waktu dan tenaga bagi pasien-pasien demikian. Tidak sedikit dokter gigi yang menyediakan waktu dan tempat khusus hanya untuk pasien-pasien demikian, meski tak jarang kemudian dimanfaatkan oleh pasien-pasien yang sebetulnya tidak memerlukan bantuan seperti ini.

Jadi siapa saja mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi.